0

Menjadi Lucu Itu Sulit

“Terima kasih tuhan, saya masih bisa ngetawain presiden dan anak presiden untuk 5 tahun ke depan.”

Itulah respons salah seorang netizen atastweet kocak Kaesang Pangareb beberapa waktu lalu. Putra bungsu Presiden Jokowi itu me-retweet foto yang diunggah oleh akun bapaknya yang tengah berpose dengan sejumlah perempuan pemimpin dari negara-negara G20 di sela konferensi di Osaka, akhir Juli lalu. Bunyi caption foto itu: di antara perempuan-perempuan perkasa. Kaesang me-retweet dengan menambahkan: cc: ibu.

Menjadi orang yang lucu itu tidak gampang. Jumlah orang lucu di dunia ini, jika dikumpulkan, barangkali akan menjadi “kaum minoritas”. Tapi, layaknya sebagian “kaum minoritas” lainnya, mereka memberi warna yang berbeda pada dunia dan kehidupan. Orang-orang yang lucu biasanya tampil apa adanya, tidak “jaim”, dan mampu menghidupkan suasana di sekitarnya.

Orang yang lucu, atau bahasa kerennya memiliki “sense of humor” yang tinggi tidak mudah marah, menyikapi hidup dengan santai, cenderung memandang segala sesuatu dengan cara yang positif. Mereka tidak membenci orang lain, tidak menyebar hoaks dan berita bohong, serta tidak mencaci, menghujat, dan berkata kasar. Jika mereka mengkritik, atau mengungkapkan suatu keberatan dan ketidaksetujuan, biasanya disampaikan tidak dengan nada “nyinyir”, melainkan dengan satire –sinis, tapi tidak menyinggung, dan tetap mengundang tawa.

Orang lucu ada di sekitar kita, namun sekali lagi tidak banyak. Dalam satu lingkaran pergaulan misalnya, biasanya hanya ada satu orang lucu, yang menjadi pusat perhatian, membuat kebersamaan menjadi menyenangkan –bahasa iklannya:nggak ada lo nggak rame. Mereka memicu gelak tawa, membahagiakan orang lain, kadang sampai level “pengorbanan” dengan mentertawakan diri mereka sendiri, untuk membuat orang lain mendapatkan semacam “pencerahan” batin.

Kita pernah memiliki presiden seorang kiai yang sangat lucu. Cerita-cerita lucunya menjadi kisah abadi yang dikenang oleh orang-orang sekitar atau yang pernah berada di dekatnya, dan dikisahkan kembali kepada orang lain, sehingga menjadi “cerita rakyat” yang dikenal luas. Dia adalah Kiai Abdurahman Wahid alias Gus Dur. Salah satu kelucuannya yang setiap kali diulang tetap membuat orang tertawa adalah “celetukannya” tentang bagaimana dirinya bisa menjadi presiden.

“Saya menjadi presiden cuma modal dengkul. Itu pun dengkulnya Amien Rais.” Bagi yang mengalami zaman itu, atau setidaknya membaca sejarah politik pada masa itu, tentu paham betul apa yang dimaksud Gus Dur tersebut. Orang-orang dengan tingkat kelucuan seperti Gus Dur itu kadang (atau sering) membuat orang lain iri, karena dengan kelucuannya dia mampu mengungkapkan sebuah pemikiran, ide, gagasan, atau pendapat yang sebenarnya sangat kompleks dan serius, dengan cara yang ringan, menghibur, dan membuat orang tertawa.

Jika ia seorang penulis, orang yang lucu akan menjadi penulis yang jempolan. Lagi-lagi tidak banyak, tapi kita punya Mahbub Djunaidi dan Emha Ainun Nadjib, penulis yang sangat lucu. Gus Dur sendiri juga pernah aktif menulis di media massa, tapi tulisan-tulisannya memang tidak selucu ketika dia berkisah secara langsung. Emha Ainun Nadjib bicara di forum-forum pengajian dan pidato-pidato sama lucunya dengan tulisan-tulisannya. Sedangkan Mahbub Djunaidi, dari kisah-kisah yang dituturkan oleh orang-orang yang mengenalnya, dalam keseharian juga selucu tulisan-tulisannya.

Di era belakangan, kita mengenal orang-orang yang lucu dalam menulis dan berbicara lewat sosok-sosok seperti Raditya Dika dan Ernest Prakasa. Mereka adalah para penulis lucu yang pilih tanding, sekaligus juga para “comic“, stand up comedian“, yang digemari jutaan anak muda, dan menginspirasi lahirnya generasi baru orang-orang lucu. Lebih belakangan lagi, keduanya terjun ke dunia film, menjadi sutradara dan aktor, dan melahirkan film-film yang juga lucu dan sangat menghibur.

Yang barangkali jarang terpikirkan adalah bahwa humor, kelucuan, dan orang-orang yang lucu tidak hanya dibutuhkan sebagai hiburan. Dalam membangun dan mengelola negara yang demokratis, sosok, sikap, dan sifat seperti itu juga diperlukan. Lagi-lagi zaman sudah membuktikan. Gus Dur yang lucu itu adalah sosok penganjur dan pejuang demokrasi sejak awalnya –bersama-sama sejumlah tokoh lainnya ia membentuk Forum Demokrasi yang kritis pada pemerintahan otoriter Soeharto yang kala itu sedang kuat-kuatnya dan jaya-jayanya.

Demokrasi tidak bisa diwujudkan tanpa orang-orang yang lucu. Selama 32 tahun era Orde Baru dulu, negara ini dipimpin oleh seorang presiden, seorang jenderal yang selalu tersenyum dan terlihat hangat-kebapakan –sampai-sampai dijuluki “the smiling general“. Tapi, ia sama sekali bukan orang yang lucu, sebaliknya ia memimpin dengan membungkam suara rakyat, memberangus kebebasan warga, dan menangkapi orang-orang yang mengkritiknya.

Jokowi dan keluarganya, terutama putra-putranya adalah orang-orang yang lucu. Ini bisa kita saksikan langsung dari interaksi mereka di media sosial yang begitu terbuka, apa adanya –mereka bisa saling ledek seolah-olah sedang “bermusuhan”. Itulah lucu gaya Jawa-Solo. Kaesang misalnya, mencitrakan diri sebagai “anak yang tidak diakui”. Dan, hubungannya dengan Gibran, kakaknya, seolah-olah tidak pernah rukun. Ketika sang kakak mempromosikan bisnisnya misalnya, Kaesang akan menyahut: Ini punyanya Mas Gibran? Emoh!

Ungkapan netizen di atas, yang diformulasikan dalam kalimat sederhana, mensyukuri keadaan di mana dirinya masih bisa menertawakan presiden dan anak presiden untuk lima tahun ke depan, sebenarnya menggambarkan politik kita saat ini, dan akan seperti apa negeri ini dikelola ke depannya. “Ngetawain presiden dan anak presiden” adalah aspek yang barangkali selama ini luput dari analisis para pengamat dan pakar politik, ketika membicarakan tentang demokrasi.

Untuk membangun demokrasi, kita perlu banyak tertawa, tapi bukan menghina, apalagi mengulang-ulang hinaan yang itu-itu saja, misalnya tentang logat bahasa Inggris presiden. Tentu saja, dengan menampilkan diri sebagai sosok-sosok yang lucu, Presiden Jokowi dan keluarganya tidak serta merta lantas “kebal” kritik. Namun, dalam masyarakat yang berlimpah kebebasan seperti sekarang ini, membedakan antara kritik dan hinaan kerap menjadi tantangan yang berat.

Kita memang patut bersyukur, bahwa dalam gempuran berbagai hinaan, ujaran kebencian, berita bohong, bahkan fitnah yang tak pernah putus, putra-putra presiden Jokowi tidak pernah kehabisan kesabaran, dan kehilangan “sense of humor” mereka. Mereka tetap melucu, saling ledek, kadang menertawakan diri mereka sendiri. Demokrasi memang memerlukan pengorbanan dan harga yang mahal, dan mereka telah memenuhi dan membayarnya dengan merelakan diri menjadi objek tertawaan.

0

Islam Bukan (Hanya) Arab

20170225-083923 AM.jpg

“Haji Cim, hurry up! Why are you late, my brother?” lelaki berkulit legam itu menyapa saya.
Namanya Abdy, Abdurrahman Masoud lengkapnya, asalnya dari Jibouti, Afrika. Awalnya Abdy tak tahu saya muslim. Begitu tahu, dia langsung tampak lebih ramah, dan mengubah caranya memanggil saya. Soal “Haji Cim”, tentu ia cuma bercanda. Tapi Abdy tak lagi memanggil saya dengan “mate” sebagaimana lazimnya cara Australia. Dia kemudian memanggil saya dengan “my brother”.

Sebelum kenal Abdy, saya pernah berjumpa dengan banyak muslim dari berbagai negara. Saya ingat-ingat, ternyata kebanyakan mereka saling menyapa dengan panggilan “brother”. Begitu pula para khatib di Universitas New South Wales tempat saya dulu rutin jumatan, dalam khotbah mereka pun selalu muncul sebutan bagi jamaah: “Brother and sister in Islam…”

Pada waktu lain, dalam sebuah penerbangan, saya duduk bersebelahan dengan seorang lelaki Arab Saudi. Ketika kami bicara bahasa Inggris, dan dia tahu bahwa saya muslim, segera kalimat-kalimatnya berlimpah dengan ucapan “masya Allah”. Anehnya, dia menyebut saya dengan “you” saja. Misalnya saat bertanya, “So which part of Indonesia do you live?”

Aneh, kan? Iya, lah. Ini memang aneh. Kenapa dia tidak memakai “antum” untuk kata ganti orang kedua? Kenapa cuma “you”? Bukannya kami sesama muslim? Juga Abdy dan teman-teman muslim yang lain, kenapa mereka memanggil saya dengan “brother” dan bukan “akhi”? Padahal di Indonesia, oleh sesama muslim Indonesia, berkali-kali saya malah dipanggil dengan antum dan akhi.

Dari situ lantas muncul tanda tanya di kepala saya. Benarkah umat Islam Indonesia lebih Islam dibanding muslim di negara-negara lain? Atau… umat Islam Indonesia lebih Arab dibanding orang Arab sekalipun?

Debat kusir tentang kaitan Arab dan Islam ini masih sering muncul di mana-mana. Banyak muslim merasa lebih afdhol memakai apa-apa yang berbau Arab, mulai pakaian hingga ucapan, agar lebih kental keislamannya. Di sisi seberangnya, banyak orang tak sepakat jika Islam harus diartikan dengan apa-apa yang berbau Arab. Islam itu universal, universalitas Islam justru akan hilang jika di mana-mana muslim harus diarabkan, dan sebagai muslim Indonesia kita harus tampil dengan ciri budaya Indonesia. Begitu pendapat mereka.

Perdebatan semacam ini sering memanas, karena lantas lari ke mana-mana. Yang tidak suka dengan budaya Arab dibilang membenci kebiasaan Nabi Muhammad. Yang suka dengan yang Arab-Arab dibilang ingin mengarabkan Indonesia.

Problem identitas beginian semestinya disikapi dengan memahami dulu duduk perkaranya. Kalau kurang cermat, yang akan muncul adalah generalisasi, sikap gebyah uyah yang bikin segalanya kian rumit dan berakhir menjadi konflik.

Generalisasi tersebut banyak bentuknya. Yang cukup sering terjadi, ketika orang bicara tentang Arab, acapkali tak dibedakan dulu antara Arab sebagai entitas budaya, Arab sebagai entitas etnis, dan Arab sebagai entitas politik-administratif alias negara Arab Saudi.

Modus begini lazim terjadi, tak bedanya dengan sering cerobohnya kita dalam membedakan antara Yahudi sebagai etnis atau salah satu cabang dari kelompok ras Semit (Jews), Yahudi sebagai agama (Judaism), dan Yahudi sebagai orang yang memeluk agama Yahudi (Jewish). Atau yang belakangan lebih sering muncul di tengah kita adalah gagalnya orang membedakan antara China sebagai negara, dan China sebagai etnis. Akibatnya, sebagai contoh, perayaan Tahun Baru Imlek yang meriah oleh warga keturunan Tionghoa ikut tertuding sebagai tanda berkuasanya negara Tiongkok alias RRC atas Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Oke, kita kembali ke Arab. Kegagalan dalam membaca “Arab” dalam sebuah konteks wacana membuat sebagian orang tertentu meletakkan budaya Arab dan Kerajaan Arab Saudi dalam posisi yang sama dan saling menggantikan. Ini kacau. Mengecam Kerajaan Arab Saudi, misalnya, serta-merta dianggap sama dan sebangun dengan menghina budaya dan tradisi bangsa Arab. Lebih dahsyat lagi, kritik atas Kerajaan Saudi dicegat dengan slogan asal-asalan: “Hoi, kenapa membenci Arab?? Jangan lupa Nabi Muhammad adalah orang Arab!”

Padahal, kerajaan ya kerajaan, itu rezim politik. Kalau budaya ya budaya. Mau rezim politiknya runtuh, budayanya tak akan terpengaruh.
Harap diingat, Kerajaan Saudi baru berdiri pada tahun 1932. Itu satu milenium lebih tiga abad setelah wafatnya Nabi Muhammad. Lha trus apa urusannya Nabi dengan Dinasti Saud? Nabi memang lahir dan besar dalam tradisi Arab. Tapi jangan sampai kita menganggap bahwa Nabi Muhammad adalah warga negara pemegang paspor Arab Saudi.

Dengan pemahaman konteks semacam itu, semestinya kita tak perlu sensi kalau ada yang mengatakan bahwa panggilan antum dan akhi, bukan merupakan cermin kuatnya ghiroh keislaman. Ia semata-mata ekspresi budaya yang kearab-araban.

Islam mengajarkan agar sesama muslim merasa bersaudara, dan memanggil dengan panggilan yang baik. Itulah nilai islami itu. Maka panggilan “brother” pun sangat islami, karena sesuai dengan spirit ajaran Nabi agar sesama muslim bersaudara. Adapun mengucap antum dan akhi saat bicara bahasa Indonesia, saya tak tahu itu islaminya di mana. Bahkan saya juga tak tahu itu budaya Arab atau bukan, lha wong orang Arab sendiri tidak melakukannya saat mereka bicara bahasa non-Arab.

Berangkat dari situ, muncul pertanyaan lanjutan: Apakah sebagai orang Indonesia artinya kita mesti bersikap menolak budaya Arab? Lalu menyebut mereka para pengucap antum dan akhi itu sebagai “laskar onta”?

Begini. Harus dipahami, Arab sebagai budaya tak lebih dari salah satu entitas kultural warga dunia. Jika kita mengejek dan merendahkan budaya Arab, maka kita sama saja dengan siapa pun yang menista budaya Cina, India, Sunda, Bali, Batak, Bugis, Buton atau budaya mana pun. Sementara, yang namanya budaya itu bersifat dinamis, adaptif, lentur, bahkan cair. Ia bisa merembes ke mana-mana, tercampur dengan elemen lain, mengendap tanpa sadar, masuk menembus pori-pori sekat primordial. Maka, tidak ada di dunia ini budaya yang benar-benar murni.

Dilihat dari fakta sejarahnya, Nusantara pun dibentuk oleh ribuan entitas kultural, di mana budaya Arab (dan juga Cina) merupakan salah satu kontributor pentingnya. Coba sekarang periksa saja, mulai kata pertama di tulisan ini, sampai di titik terakhir Anda membaca yaitu di… sini. Ada berapa kata bahasa Indonesia yang jelas merupakan serapan dari bahasa Arab.

Lebih dari itu, ketika kita alergi kepada budaya Arab seolah kita ingin tampil murni berkarakter Nusantara, kita malah lupa bahwa diri kita sehari-hari sebenarnya adalah cerminan berkuasanya budaya Eropa. Kalau tidak percaya, cobalah berdiri di depan kaca, dan lihat baik-baik pakaian Anda semua. Anda pakai kemeja, kaos oblong, celana jins, atau setelan jas. Apa Anda yakin itu kostum asli Nusantara, yang dulu dipakai Hayam Wuruk atau Balaputradewa Raja Sriwijaya?

Memang, di zaman ini, memakai kostum “normal” semacam yang kita pakai sehari-hari seolah merupakan tuntutan zaman. Ia sekaligus menjadi syarat kemudahan dalam kehidupan sosial. Pada satu sisi memang benar bahwa itu normal, karena normal dan tak normal toh sebenarnya cuma perkara mayoritas dan minoritas. Ketika mayoritas orang di sekitar kita memakai pakaian demikian, maka kita jadi merasa normal saat mengikutinya.

Tapi begini. Kita kerap lupa menyadari, bahwa pakaian ala Eropa yang kita kenakan sekarang pun menjadi bagian dari normalitas sosial di Indonesia bukan tanpa sejarah panjang hegemoni budaya. Semua itu jadi lazim ya karena pembaratan alias westernisasi, sedangkan proses pembaratan berjalan karena kolonialisme.

Untuk memahami logika soal itu, paling enak jika kita pahami dulu produk budaya berupa bahasa. Sebuah bahasa menjadi bahasa dunia bukan karena bahasanya yang hebat, bukan pula karena populasi penuturnya yang banyak, melainkan karena bahasa tersebut digunakan oleh pemegang kuasa.

Bahasa Latin, contohnya, pada masanya pernah menjadi bahasa global. Padahal, penutur aslinya cuma sebagian kecil saja dari keseluruhan warga negara Kekaisaran Romawi, negara adikuasa pada zaman itu. Tapi bagaimana mau dilawan, wong administratur di Kekaisaran Romawi, tentara-tentaranya, dan belakangan juga Gereja Katolik Roma, semua memakai bahasa Latin. Bahasa Latin pun berjaya. Karena apa? Karena penuturnya berkuasa.

Demikian pula bahasa Inggris. Jauhkan pikiran bahwa bahasa Inggris sudah dari sononya diturunkan Tuhan sebagai bahasa internasional. Bahasa Inggris menyebar dan mengglobal karena dibawa kolonial Inggris yang merajalela berkuasa di mana-mana, bersama kekuatan militer maupun kekuatan ekonomi hasil Revolusi Industri. Usai berkuasa, mereka meninggalkan sistem pemerintahan, sistem peradilan, sistem pendidikan, yang kesemuanya dijalankan dengan bahasa Inggris.
Bahasa Inggris semakin jaya ketika Sekutu Inggris-Amerika keluar sebagai juara Perang Dunia II, dan lambat-laun disusul oleh keberhasilan supremasi ekonomi dan budaya Amerika Serikat. Walhasil, bahasa satu itu pun menguasai dunia lewat musik, film, buku-buku, media massa, dan sebagainya.

Seperti itulah. Jadi, ketika teman di sebelah Anda ngobrol sambil menyelipkan “which is” di sela-sela kalimatnya, atau ketika seorang politisi melumuri pidatonya dengan istilah-istilah bahasa Inggris sampai perut kita kekenyangan dibuatnya, atau ketika Anda merasa keren saat menulis status Facebook dengan bahasa Inggris alih-alih bahasa Indonesia, jangan dikira itu karena tujuan praktis semata. Itu adalah etalase paling luar dari kekalahan kita.

Akhirulkalam, tidak perlu tegang-tegang memikirkan cara kita dan orang-orang di sekitar kita dalam berekspresi dengan produk-produk budaya. Entah dia kearab-araban, kecina-cinaan atau kebarat-baratan. Kita tidak perlu mengklaim saya lebih islami hanya karena saya berjubah atau menyebut “antum” untuk Anda.

0

Leicester City Kisah Sukses Kaum Underdog

20160506-054549 AM.jpg

Kesetaraan adalah hal yang tidak natural dalam kehidupan. Sebuah omong kosong. Utopia. Mencoba untuk menciptakan kesetaraan hanya akan berakhir kegagalan.

Namun sebagai sebuah ide, kesetaraan entah mengapa menentramkan hati. Sehingga kita, manusia, paling senang menciptakan sistem dan lembaga yang beraspirasi kesetaraan.

Dalam politik kita memuja demokrasi: satu derajat suara untuk semua. Tetapi kita tahu demokrasi sesungguhnya menciptakan satu kelas aristokrasi penguasa. Ketidaksetaraan.

Pendidikan adalah sebuah rekayasa sosial (social engineering) dengan filosofi dasar kesetaraan, kesempatan untuk semua. Tetapi sejujurnya ditingkat praktis itu tidak terjadi. Banyak institusi pendidikan yang dari segi finansial ataupun strata sosial hanya bisa dimasuki oleh kalangan yang mempunyai privilege. Juga secara alami pendidikan menyortir dan mengedepankan yang lebih berbakat, lebih pintar, dll. Lagi-lagi ketidaksetaraan.

Bahkan agama dengan halus mengakui bahwa kesetaraan tidak termungkinkan. Karenanya ajaran-ajaran agama mengambil pilihan kedua, dengan sangat mementingkan ungkapan kasih sayang, perhatian, dan upaya penyejahteraan kaum fakir, miskin, terpinggirkan, dan yang tidak beruntung dalam kehidupan.

Kisah keteladanan sosial dalam agama seringkali berinti pada pembebasan dari ketidaksetaraan. Tidaklah kebetulan kalau para nabi, rasul, dan pendiri agama sebagian besar berasal dari kaum papa. Ada makna simbolik tentang aspirasi kesetaraan di dalamnya.

Kalaupun pembebasan dari ketidaksetaraan (dan ketertindasan) lewat uluran tangan kasih sayang tak berhasil maka kita terbiasa dengan kisah kepahlawanan mereka yang lemah melawan yang kuat. David melawan Goliath adalah contoh klasik.

Itu mungkin sebab kita selalu senang mendukung mereka yang masuk dalam kategori underdog — yang di bawah, kekurangan, tertindas atau karena satu dan lain hal terpinggirkan—tetapi tak henti berusaha. Kita selalu menunggu munculnya kisah-kisah (keberhasilan) kalangan underdog. Karena kisah mereka menghidupkan harapan dalam keputusasaan. Kisah mereka menutupi ketidakmampuan kita untuk secara sistemik mengatasi ketidaksetaraan.

Kisah sukses Leicester City untuk menjadi juara liga Primer Inggris adalah salah satunya. Leicester City yang kecil, miskin, tidak fashionable, dengan pemain dan pelatih buangan, dan muara sekian macam ketidakberuntungan hidup. Modal untuk tidak semestinya menjadi juara tetapi degradasi.

Leicester City adalah dongeng modern tentang David lawan Goliath. Leicester City adalah pendar baru rasa (keadilan) kemanusiaan. Dan seperti halnya kisah David dan Goliath yang menjadi dongeng, kisah tentang Leicester City akan tumbuh (dan akan mendapat imbuhan-imbuhan yang fantastis) di masa yang akan datang.

Sekarang saja, belum 24 jam setelah Leicester City memastikan juara, imbuhan-imbuhan fantastis lewat kata-kata superlatif sudah mulai bertebaran.

Pendukung dan mantan pemain Leicester City yang juga mantan striker tim nasional Inggris lainnya Gary Lineker menyebut, “Kejutan olahraga terbesar sepanjang hidup saya.”

“Kisah (sepakbola) terbesar sepanjang masa,” kata pengamat bola dan mantan striker tim nasional Inggris Alan Shearer lebih bombastis.

Bekas pemain Leicester Robby Savage malah menyebut dalam konteks sepakbola domestik, Inggris, pencapaian Leicester City menjadi juara Liga Primer tidak akan terlewati kemasyhurannya sampai kapanpun.

Satu-satunya yang berkomentar tenang dan mampu menyembunyikan kegegapgempitaan malah sang pelatih, Claudio Ranieri. “Saya orangnya pragmatis. Saya tak memimpikan ini semua ketika datang. Saya hanya ingin menang dari satu pertandingan ke pertandingan lain dan membantu pemain untuk memperbaiki diri. Tak pernah saya berpikir tentang akhirnya akan kemana,” katanya nyaris tanpa emosi.

Tetapi yang paling tepat adalah reaksi dan kesimpulan dari Presiden FIFA Gianni Infantino : “Cerita Indah. Dongeng.” Dan bukankah demikian dengan dongeng itu : cerita (khayali) luar biasa yang berfungsi untuk menyampaikan ajaran moral tertentu?

Karenanya pengemar sepakbola Inggris, kecuali mungkin pendukung Tottenham Hotspur, seperti bersorak bersama menyambut hal yang tak terduga ini. Mereka yang merasa senasib dengan Leicester bertumbuh harapan bahwa ketidaksetaraan yang sistemik maupun alami bisa dikalahkan. Sesementara apapun itu.

Sedang pendukung klub-klub kaya dan besar mungkin lebih besar dilanda euphoria kelegaan, bahwa bukan sesama klub besar dan kaya lain yang memenangkan. Sehingga tidak menambah kejayaan saingan. Leicester City adalah semacam musuh bersama yang tidak membahayakan (harmless common enemy) eksistensi klub-klub besar dan kaya. Underdog. Tak apalah kalau mereka meraih sedikit kejayaan.

0

From Zero To Hero

20160207-123924 PM.jpg

Kita semua menyukai Leicester City dengan alasan yang sama mengapa kita secara tak sadar selalu mendukung kontestan dengan latar belakang sosio-ekonomi paling sederhana di acara kompetisi adu bakat di TV. Kita selalu gemar mendukung underdog di mana pun mereka berada, karena secara psikologis kita ingin melihat hukum probabilitas ditunggangbalikkan.

Kita menyukai underdog karena pada satu titik dalam hidup kita juga pernah menjadi underdog, dan tahu bagaimana rasanya dianggap remeh oleh orang lain. Karena itu setiap kita melihat underdog berkompetisi, kita merasa ada bagian dari diri kita yang sedang ikut bertarung di sana.

Tidak hanya itu, kisah soal underdog mempunyai unsur hiburan dan atraksi yang jauh lebih besar. Tengoklah semua film Hollywood yang berlatar belakang olahraga, dari mulai Mighty Ducks hingga Remember The Titans, semuanya berkisah soal perjuangan tim dengan probabilitas kecil untuk menang menuju kejayaan.

Bahkan franchise film olahraga paling lama dan sukses dalam sejarah, Rocky, pada dasarnya hanya bercerita soal seorang petinju underdog keturunan Italia yang selalu bengap pada setiap pertandingan dan meracau tak jelas di pengujung film sebelum meraih kemenangan. Bahkan sekuel terbaru dari franchise ini, Creed (yang entah mengapa tak masuk Indonesia) pun tak jauh-jauh dalam mengambil plot cerita.

Underdog telah lama menjadi narasi yang menghibur dan laku dijual. Bahkan penulis Amerika Serikat abad 19, Horatio Alger Jr. menjadikan underdog sebagai tema utama semua buku-bukunya. Semua buku yang ia tulis selalu memiliki plot utama yang mirip-mirip: underdog dalam hidup yang tumbuh miskin lalu bertarung dalam kompetisi hidup dan keluar sebagai pemenang yang sukses pada akhirnya. Narasi utama Horatio Alger Jr. sepertinya menjadi prekursor bagi produk-produk budaya populer di kemudian hari yang menjagokan underdog.

Maka tidak mengherankan ketika Adrian Butchart, penulis skrip film Goal (dengan protagonis Santiago Munez yang meniti karir dari dusun di Meksiko hingga ke Real Madrid via Newcastle) mengusulkan ide untuk membuat naskah film tentang Jamie Vardy: underdog dari segala underdog.

Vardy adalah perwujudan dari konsep underdog dan keberadaannya penting di balik ketertarikan banyak orang dengan kisah Cinderella Leicester City. Sama seperti Katniss Everdeen dalam trilogi Hunger Games, Jamie Vardy adalah wajah revolusi.

Kita sudah tahu cerita bahwa Jamie Vardy dilepas oleh Sheffield Wednesday pada usia 16 tahun karena dianggap tidak cukup bagus dan akibatnya harus bermain di klub amatir Stocksbridge Park Steels.

Tapi sesungguhnya Vardy bukan satu-satunya pemain reject di Leicester City.

Robert Huth dulu dijual Chelsea karena dianggap kalah kualitas dibanding John Terry, William Gallas, dan Ricardo Carvalho.

Kontrak Marc Albrighton tidak diperpanjang Aston Villa karena dianggap dirinya hanya bisa melepas umpan silang tanpa dilengkapi kemampuan lain.

Kasper Schmeichel selalu hidup di bawah bayang-bayang bapaknya dan ketika dulu ia gagal mendapatkan tempat utama di bawah mistar gawang Manchester City, seketika ia dianggap hanya bermodal nama belakang saja.

Jebolan akademi Manchester United, Danny Drinkwater, tidak pernah bermain sekalipun untuk “Setan Merah” dan dijual keluar dari Old Trafford setelah mengarungi bertahun-tahun masa pinjaman di beberapa klub.

Danny Simpson bernasib lebih baik karena pernah 3 kali bermain untuk Man United di liga, tapi pada akhirnya juga dianggap tidak cukup bagus dan terpaksa hengkang. Demikian juga dengan Ritchie De Laet yang dinilai tidak layak menjadi bek Manchester United.

Riyad Mahrez? Jika memang ia dulu dianggap pemain penting, mana mungkin dirinya hanya dihargai 400.000 poundsterling (lebih kecil dari gaji Wayne Rooney 2 minggu) ketika dulu dilego oleh Le Havre?

Bahkan tak kurang dari manajer Claudio Ranieri pun selalu hidup di bawah label kelas dua. Pekerjaan terakhir The Tinkerman sebelum menggantikan Nigel Pearson sebagai manajer Leicester adalah menjadi pelatih timnas Yunani yang dipecat dengan memalukan karena tidak pernah menang dalam 4 pertandingan dan kalah di kandang dari Kepulauan Faroe.

Ketika Ranieri resmi menjadi manajer Leicester, semua orang menjagokannya mereka sebagai kandidat kuat degradasi. Ranieri adalah pelatih gagal. Leicester adalah klub gagal yang kebetulan beruntung akhir musim lalu. Kali ini mereka pasti gagal.

Kumpulan pemain reject di Leicester City itu sekarang sedang menertawakan para pencibirnya. Kita pun ikut tertawa karena kita membungkam haters adalah hal yang menyenangkan.

***

Beberapa orang gegabah menyamakan prestasi Leicester City sejauh ini dengan pencapaian Blackburn Rovers di medio 90-an, tapi sesungguhnya itu adalah komparasi yang salah. Ketika menjadi juara liga tahun 1995, Blackburn sudah menjadi klub kuat yang finis sebagai runner-up semusim sebelumnya. Setahun kemarin, Leicester adalah penghuni dasar klasemen dan degradasi terlihat seperti takdir bagi mereka.

Tidak hanya itu, Blackburn ketika itu adalah klub kaya yang dimiliki konglomerat Jack Walker yang, sebagai fans berat Rovers, memecahkan rekor transfer Inggris untuk membeli Alan Shearer dan kemudian Chris Sutton. Leicester memang dimiliki konglomerat juga, tapi pemain termahal yang dibeli pemilik klub asal Thailand, Vichai Srivaddhanaprabha, hanyalah striker Leonardo Ulloa yang statusnya sekarang hanyalah pemeran pendukung di belakang aktor utama: Vardy dan Mahrez.

Muncul dan ujug-ujug bikin keributan di papan atas, apa yang dilakukan Leicester sekarang lebih mirip apa yang dilakukan Nottingham Forest-nya Brian Clough yang menjuarai liga tahun 1978. Bahkan bisa jadi apa yang dilakukan Leicester sampai tahap ini lebih di luar dugaan dibanding Forest karena reputasi Brian Clough sebagai tukang sulap sudah terbentuk ketika membawa klub kelas kecamatan seperti Derby County juara liga tahun 1972. Reputasi Ranieri hanya sebagai Tinkerman yang lebih doyan gonta-ganti pemain dibanding artis gonta-ganti pasangan.

Masih jauh jalan Leicester untuk mengulangi apa yang dicapai oleh Nottingham Forest, karena tidak hanya menjuarai liga, Forest juga menjuarai European Cup dua kali berturut-turut. Tapi rasanya ini saat yang tepat untuk mulai memberikan Leicester kredit yang pantas mereka dapatkan.

Selama ini Leicester hanya dianggap beruntung semata. Namun mengalahkan Chelsea (yang bagaimanapun tetap juara bertahan), Liverpool, atau yang teranyar membungkam Manchester City di Etihad Stadium membuat mau tak mau publik sepakbola harus menganggap mereka serius. Target Ranieri tetap seperti semula untuk selamat dari degradasi.

Mungkin memang Leicester tak akan keluar sebagai juara di akhir musim nanti. Mungkin segala euforia soal Vardy dan kawan-kawan akan padam beberapa pekan ke depan ketika badai cedera melanda dan rentetan hasil buruk mereka dapatkan.

Tapi selama mereka masih berada di puncak dan meraih kemenangan demi kemenangan, Leicester City patut dirayakan.

0

Lembaga Survei Dalam Pilkada Serentak

20150910-115157 PM.jpg

Dalam hal kebaikan dan kebenaran, jangan lihat siapa yang menyampaikan tetapi dengar apa yang disampaikannya. Sering dari orang yang kita anggap ‘anak kemarin sore’ secara tak terduga bisa mencapaikan gagasan, ide yang cemerlang. Acap dari orang yang kita cap sebagai ‘tak makan bangku sekolah’ mampu melahirkan kegiatan yang bermanfaat.

Apakah apa yang diutarakan, dijabarkan, dibeberkan, dipromosikan, dikoarkan oleh lembaga survei dan media massa tentang kadar, kualitas dan kandungan kandidat peserta pilkada serentak, otomatis akan memompa citra diri, mendongkrak popularitas, menggandakan nilai jual. Tidak bisa kita pungkiri bahwa peran lembaga survei dan media massa sebagai faktor pengaruh pemenangan pilkada.

Jangan lupa, maraknya lembaga survei berbayar serta kefasikan media massa menjadikan tidak netral, steril, suci hama apalagi bebas intervensi (terutama intervensi Rupiah). Media massa sebagai bagian dari industri politik milik perorangan atau konglomerasi, punya misi tersendiri. Lembaga survei merupakan ‘pengacara politik’, bisa mengenyampingkan derajat keilmuan, lebih tergoda negosiasi.

Masyarakat pasca Reformasi semakin melek politik. Melihat kiprah, kinerja, kontribusi kawanan parpolis tingkat nasional yang sering muncul, tampil, jual tampang di media massa, malah menjadikan rakyat alergi, bahkan bisa antipati.

Di tingkat kabupaten/kota, jalur politik sebagai atau dianggap jalan tikus untuk mencapai tujuan, jalan sesat untuk tujuan sesaat. Yang mau berkeringat bersama rakyat, yang dicari.

Dalam konteks seperti itulah pentingnya mengenal Lembaga Survei profesional. Berikut 4 Hal Ini Yang Harus Diketahui Masyarakat Soal Lembaga Survey Kredibel:
1. Lembaga Survey yang Kredibel memiliki sertifikat sebagai bukti bahwa lembaga itu profesional. Biasanya yang mengeluarkan sertifikat itu adalah asosiasi lembaga survey. Contohnya Persepi (Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia)
2. Lembaga Survey selalu konsisten mengadakan survey, tidak hanya tampil disaat momentum atau Pilkada serentak seperti sekarang.
3. Setiap hasil survey harus dibuka ke publik mulai dari perencanan survey, pendanaannya seperti apa, siapa informannya, wilayah pengambilan data, teknik analisa data hingga penarikan kesimpulan.
4. Lembaga survey yang kredibel mempunyai reputasi atau berpengalaman dalam melakukan penelitian dengan tingkat akurasi yang mendekati sempurna.

0

Kerajaan PSSI

20150427-124332 AM.jpg

Sesungguhnya menjadi profesional (dan profesionalisme) itu menjadi tanpa empati. Tanpa perasaan. Tanpa ampun.

Sebuah sistem meritokrasi yang tak mengenal arti sahabat, saudara, perkoncoan, kongkalingkong, kemanjaan, melankoli, dan kelalaian. Sebuah ke-saklek-an yang tersistem.

Sebuah langgam (kerja) yang menyediakan tempat hanya bagi yang berusaha habis-habisan (terbaik) dan menyingkirkan yang santai-santai (tak mampu) tanpa belas kasihan.

Berasal dari kata bahasa Prancis kuno, profession, yang kira-kira berarti sebuah baiat ketika seseorang hendak memasuki sebuah ordo keagamaan (dan) atau juga dari kata Latin, professionem, yang berarti sebuah pernyataan (deklarasi) terbuka akan sebuah keahlian.

Profesionalisme adalah perilaku yang superserius. Pertanggungjawabannya bukan hanya ke sesama manusia tetapi juga karena persoalan aktualisasi diri dan sangat intens, pelukis Belanda terkenal Vincent Van Gogh sampai menyebutnya panggilan spiritual. Bertanggung jawab langsung ke Tuhan.

Ketika sumbu spiritual itu (di Eropa) getas di awal abad XX dan akhirnya benar-benar putus, arti profesional berevolusi menjadi mereka yang menyediakan jasa sesuai keahlian dengan standard terbaik, sepenuh hati, jujur, menjaga reputasi, bisa dipercaya, dan memenuhi hukum dan aturan. Sangat segmented (sempit—sangat hebat untuk wilayah keahliannya saja).

Memenuhi nilai-nilai hidup profesional lebih mudah mengatakan daripada menjalankan. Seseorang bisa saja sangat profesional tetapi karena segmented ia memerlukan sebuah lingkungan yang sama-sama profesionalnya untuk hidup. Kalau tidak hanya sebuah kesia-siaanlah yang akan ia dapat.

Pengelolaan sepakbola di Inggris mungkin salah satu contoh profesionalisme yang baik. Kita bukan hanya bisa melihat kedaulatan profesi. Kesadaran untuk menghormati wilayah keprofesionalan kewenangan. Tetapi juga sekaligus interaksi antarkelompok profesional yang mengikat.

Memperhatikan sepakbola Inggris, kita akan tersadarkan betapa begitu banyak lembaga pemerintahan yang sesungguhnya terlibat.

Pengelola kompetisi (dan FA) bekerja sama dengan setiap lembaga untuk memuluskan pengelolaan sepakbola di Inggris. Kalau lembaga pemerintah yang bersangkutan tidak puas dengan pemenuhan persyaratan yang mereka ajukan, lembaga-lembaga tersebut berhak menolak apapun yang diajukan oleh pengelola kompetisi maupun FA.

Konsekuensinya bisa bermacam-macam. Tergantung konteks. Dari sekadar klub tidak bisa membeli pemain yang diinginkan, klub dilikuidasi, pertandingan tidak bisa digelar, klub didegradasi dan dibekukan, hingga ancaman kompetisi tidak bisa berputar.

Pembelian pemain asing (yang bukan berasal dari negara anggota Uni Eropa) sebagai misal tidak bisa dilakukan sembarangan. Yang bersangkutan haruslah pemain tim nasional negara asal yang sedikitnya telah bermain sekian kali untuk negaranya.

FA mengeluarkan syaratnya, pengelola liga yang menjalankannya, tetapi adalah departemen tenaga kerja dan departemen luar negeri yang memberi persetujuan akhirnya.

Persyaratan itu dikeluarkan disamping untuk melindungi pemain lokal juga bentuk turunan peraturan pemerintah yang tak terkait sepakbola: sebuah perusahaan atau pemerintah boleh mendatangkan tenaga kerja asing, hanya jika tenaga itu tak tersedia di dalam negeri. Tak bisa ditawar.

Sementara kalau ada yang bertanya-tanya mengapa pemain Uni Eropa bebas bermain di negara mana saja termasuk Inggris, itu karena kesepakatan Uni Eropa mengenai pasar bebas. Sebuah kesepakatan politik yang harus diikuti oleh siapapun termasuk organisasi sepakbola.

Urusan keabsahan klub terkait departemen hukum. Dan karena klub adalah juga sebuah perusahaan maka departemen perindustrian kemudian terlibat.

Apalagi kalau sudah masuk ke persoalan jual beli klub. Tidak sembarang orang bisa membeli klub begitu saja. Persyaratannya begitu berderet. Apakah calon pembeli dianggap cukup bonafid? Dari mana uangnya? Apakah ada kecurigaan pencucian uang? Dan lain-lain.

Selama persyaratan dari kedua departemen belum terpenuhi atau terpuaskan 100 persen, maka tidak akan ada ijin operasional dalam bentuk apapun.

Persoalan gaji dan perpajakan adalah urusan departemen tenaga kerja, perindustrian, dan perpajakan. Menunggak gaji dan pajak, apalagi tak membayarnya, adalah dosa besar yang bahkan bisa berujung pidana kalau ternyata disengaja. Sedikitnya akan ada hukuman klub dikurangi nilai, terdegradasi – oleh penyelenggara liga– atau dinyatakan bangkrut dan dilikuidasi. Bersama departemen hukum, mereka mengawasi agar pihak-pihak terkait, perusahaan maupun pekerjanya, saling memenuhi hak dan kewajibannya. Sekali lagi tak ada kemudahan ataupun permaafan atas nama apapun juga.

Kepolisian menjadi law enforcer (penegak hukum) yang digunakan oleh departemen-departemen terkait bila terjadi persengketaan (setelah diputuskan lewat pengadilan tentunya). Bukankah pemerintahan dibentuk pada akhirnya sebagai satu-satunya lembaga yang diperbolehkan melakukan tindak kekerasan bila diperlukan?

Ini bukan berarti negara (pemerintah Inggris) kemudian turut campur dalam persoalan sepakbola – lalu melanggar statuta FIFA. Tetapi kedaulatan entitas politik harus dihormati dulu, baru sepakbola yang terorganisir bisa dilaksanakan. Atau karena menghormati aturan sebuah entitas politik, sepakbola yang terorganisir kemudian bisa berjalan. Itu penting disadari dan diterima oleh semua pemangku kepentingan.

Persoalan apakah kemudian ada lima divisi kompetisi, 10 atau 20 klub dalam satu divisi, berapa jumlah wasit dalam satu pertandingan, berapa jumlah pemain yang terlibat, bagaimana sistem pembinaan pemain, berapa jumlah pengurus daerah, bentuk organisasi sepakbolanya, cara pemilihan pengurus nasional, siapa pelatih tim nasional, ada tidaknya asosiasi pemain untuk membela kepentingan pemain, dan segala sesuatu yang bersifat teknis itu urusan orang sepakbola dan organisasinya. Negara tidak berhak turut campur.

Sebenarnya tidak hanya di Inggris hal serupa terjadi. Spanyol, Jerman, Belanda, sebutlah rata-rata negara Eropa. Hampir semuanya seragam.

Tentu menyakitkan membandingkan Indonesia dan Inggris. Tengoklah dunia sepakbola Indonesia belakangan ini. Carut marut tidak karuan. Kata profesional, menuju profesional, terlalu sering diucapkan oleh para administratornya. Tetapi benarkah sepakbola Indonesia (menuju) profesional? Niatan untuk menjadi profesional, mungkin. Kesadaran dan bergerak untuk menjadi profesional, nanti dulu.

Lihat bagaimana sedikit saja ada percobaan untuk menjadikan klub yang ada di Indonesia menjadi benar-benar profesional, memenuhi asas legal klub sebagai sebuah perusahaan yang sehat, sudah menimbulkan kegoncangan dan pembangkangan luar biasa.

Ini tidak untuk memihak Kemenpora. Keterlibatan negara (bukan intervensi) menurut saya masih dalam tahap yang sangat minimal. Belum ada koordinasi keterlibatan antar departemen pemerintahan sebagai pemangku kepentingan. Saya bahkan tak begitu yakin departemen-departemen terkait mengerti kewajiban-kewajiban dan haknya. Dalam konteks ini, upaya Kemenpora –sebagai kementrian yang mengurusi olahraga– bisa dilihat sebagai kesadaran dan gerakan awal menuju profesionalisme.

Kalaulah Kemenpora kemudian membekukan PSSI sebagai administrator sepakbola Indonesia karena pembangkangan, pilihan apa yang dimiliki Kemenpora sebagai wakil pemerintah ketika ada organisasi olahraga yang membangkang pada negara? Bukankah PSSI (dan PT Liga) sebagai penyelenggara kompetisi seharusnya tinggal membekukan klub yang bermasalah, kompetisi tetap bisa berjalan, dan persoalan selesai? Keberatan dan pembelaan seperti apa yang bisa diberikan kepada klub (perusahaan) yang memang tidak layak hidup?

Mungkin akan ada komentar semacam, “Anda sok tahu. Ngomong doang. Sok yang paham Inggris, toh Inggris tim nasionalnya begitu-begitu saja. Indonesia beda dengan Inggris maupun negara lain. Para pengelola sepakbola Indonesia sudah berusaha mati-matian memajukan sepakbola Indonesia, tolong diapresiasi. Coba anda berada di posisi pengelola sepakbola Indonesia,” dan lain-lain serta semacam seterusnya.

Tetapi profesionalisme mempunyai logika sendiri. Ketika persepakbolaan dunia ini sudah sedemikian profesionalnya dan Indonesia enggan mengikuti hukum besinya, yakinlah Indonesia akan ditinggalkan. Ia tanpa ampun dan tanpa perasaan. Ia tanpa empati. Tak peduli bila ada yang terpuruk dan makin terpuruk.

0

Buruk Muka Cermin Dibelah

20150324-082128 PM.jpg

Partai politik di negeri ini seperti istana pasir. Sedikit angin menerpa, partai sudah pecah. Tak peduli partai muda atau partai paling tua, semua terbelah.

Partai Demokrasi Indonesia – kini Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan — pernah pecah. Partai Persatuan Pembangunan (PPP) juga pecah. Partai Golongan Karya (Golkar) pun ikut pecah. Hukum kerap tak mampu merestorasi mesin partai yang sudah terbelah.

PPP dan Golkar kini tertatih-tatih menanti penyelesaian konflik. Sebagian nasib mereka ditentukan campur tangan pemerintah, dalam hal ini Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham). Menkumham punya stempel negara yang bisa mengesahkan salah satu kubu yang bertikai.

Mahkamah Partai

Pembentuk UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan UU Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik (UU 2/2011) paham betul bagaimana pentingnya menyelesaikan sengketa parpol, terutama sengketa kepengurusan. Itulah sebabnya diintroduksi mahkamah parpol untuk menyelesaikan segala rupa sengketa parpol secara internal, termasuk sengketa kepengurusan.

Mekanisme penyelesaian mahkamah parpol menggeser mekanisme sebelumnya yang diatur dalam UU 2/2008. Mekanisme terdahulu menyatakan bahwa penyelesaian sengketa parpol dilakukan dengan cara musyawarah dan mufakat. Bila tidak tercapai, tersedia dua pilihan penyelesaian, melalui pengadilan atau di luar pengadilan.

Jalan pengadilan ditempuh dengan mengajukan perkara kepada pengadilan negeri, yang harus memutus dalam jangka waktu 60 hari. Bila tidak puas terhadap putusan pengadilan negeri, hanya tersedia upaya kasasi ke Mahkamah Agung (MA). MA harus menyelesaikan dalam tenggat waktu 30 hari. Alhasil, dalam rentang 90 hari (3 bulan) perkara sudah akan selesai.

Jalan di luar pengadilan dapat ditempuh dengan tiga cara, yaitu rekonsiliasi, mediasi, dan arbitrase. Rekonsiliasi adalah cara penyelesaian yang mengandalkan kesadaran para pihak yang berselisih untuk merekatkan kembali perbedaan-perbedaan yang timbul sehingga menyatu kembali. Jalan ini tidak mudah karena semata-mata mengandalkan kesadaran pihak yang berperkara. Itulah sebabnya dikenalkan juga jalan mediasi.

Penyelesaian dengan cara mediasi mengandalkan peran seorang penengah (mediator). Mediator sekaligus menjadi seorang negosiator, yang menegosiasikan jalan pemecahan kepada kedua belah pihak. Keputusan akhir tetap berada pada masing-masing pihak yang bertikai. Tanpa penerimaan kedua belah pihak terhadap jalan penyelesaian yang ditawarkan, tak akan ada islah.

Menyadari kelemahan tersebut, UU 2/2008 mengenalkan pula pola arbitrase. Dalam pola ini, kesepakatan para pihak berada di awal, yaitu ketika bersepakat menunjuk seorang arbiter (pengadil). Setelah ditunjuk atas kesepakatan kedua belah pihak yang bertikai, arbiter akan bertindak sebagai hakim untuk memproses dan memutuskan kasus. Apa pun putusan arbiter seyogianya ditaati karena sang arbiter telah ditunjuk berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak.

Faktanya, di bawah rezim UU 2/2008, konflik Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) berlarut-larut hingga hampir menggagalkan kepesertaan partai tersebut dalam Pemilu 2009. Hal ini karena konflik terbuka antara kubu Muhaimin Iskandar dan Yenny Wahid terjadi menjelang Pemilu 2009. Hingga pendaftaran dan pengundian nomor urut partai, belum ada putusan pengadilan atau kesepakatan dari dua kubu yang berselisih.

Hanya ‘kebaikan’ Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang menyebabkan PKB bisa ikut Pemilu 2009 meski mendaftar dengan kepengurusan terbelah. Saat itu, sesuai dengan ketentuan undang-undang, sebelum ada keputusan atas konflik kepengurusan, yang diakui adalah yang tercatat di Kemenkumham. Yang tercatat di Kemenkumham kebetulan Muhaimin Iskandar dan Yenny Wahid. Muhaimin sebagai Ketua Umum dan Yenny sebagai Sekretaris Jenderal.

Ujung dari kemelut PKB tersebut, sebagaimana kita ketahui bersama, adalah kemenangan kubu Muhaimin melalui jalan pengadilan. Muncul juga suara tak sedap saat itu bahwa kemenangan kubu Muhaimin karena intervensi istana. Kebetulan kubu Muhaimin mendukung pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono.

Konflik PKB yang berlarut-larut itulah yang menggerakkan perubahan parsial UU 2/2008 menjadi UU 2/2011 dengan mengintroduksi keberadaan mahkamah partai. Mahkamah partai diharapkan menjadi jalur cepat untuk menyelesaikan sengketa kepengurusan parpol, yang sudah menjadi bahaya laten bagi partai apa pun. Tak peduli partai besar, menengah, ataupun partai yang baru berdiri.

Jalan mahkamah berbeda dengan jalan rekonsiliasi, mediasi, dan arbitrase yang lebih mengandalkan kesepakatan pihak-pihak yang bertikai. Jalan mahkamah adalah jalan ‘pemaksaan’. Suka atau tidak, pihak yang berselisih harus melalui jalan mahkamah. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat atas konflik Golkar, yang menitahkan jalan mahkamah terlebih dulu dalam penyelesaian sengketa internal, sudah sangat benar. Mahkamah parpol dibayangkan sebagai jalan akhir sehingga putusannya dikatakan incraht (final dan mengikat).

Tanpa Mayoritas

Dalam sengketa Golkar antara kubu Aburizal Bakrie dan kubu Agung Laksono, putusan mahkamah partai mencuatkan interpretasi berbeda justru dari para anggota mahkamah sendiri. Profesor Muladi, sang ketua mahkamah partai, menyatakan tidak ada putusan yang memenangkan salah satu kubu. Bersama Muladi, ikut pula mantan hakim konstitusi, HAS Natabaya. Dua anggota mahkamah partai lainnya, Andi Matalatta dan Djasrin Marin, bersikukuh bahwa putusan mahkamah partai memenangkan kubu Agung Laksono.

Tidak ada pendapat mayoritas dalam putusan tersebut. Empat hakim terbelah dua. Dua memenangkan kubu Agung Laksono (Andi Matalatta dan Djasrin Marin). Dua orang lagi (Muladi dan HAS Natabaya) tidak memenangkan kubu Agung Laksono, tetapi tidak pula kubu Aburizal Bakrie.

Pada titik ini, interpretasi atas putusan pun bisa terbelah. Mereka yang mendukung Aburizal Bakrie akan dengan cepat mengatakan tak ada putusan yang dibuat mahkamah partai. Dengan demikian, penyelesaian konflik akan disandarkan pada proses di pengadilan negeri (tingkat pertama) dan MA (tingkat kasasi). Untuk itu kubu Aburizal telah mengajukan gugatan ke pengadilan pascaputusan mahkamah partai.

Bagi yang pro terhadap Agung Laksono, akan dengan cepat pula menyatakan bahwa putusan mahkamah partai telah memenangkan Agung Laksono. Setidaknya, skor pertandingan menjadi dua untuk Agung Laksono, nol untuk Aburizal, dan dua tidak untuk keduanya (abstain). Pendapat ini diperkuat dengan argumen sahih bahwa mahkamah partai harus sampai pada putusan, seberat apa pun itu. Tidak mungkin sebuah mahkamah tidak memutuskan.

Argumentasi bahwa mahkamah parpol harus dapat memutuskan tersebut memang dapat dibenarkan. Lazimnya dalam putusan sebuah mahkamah, perkara bisa dinyatakan tidak dapat diterima (karena syarat-syarat permohonan tidak terpenuhi), ditolak (karena dalil pemohon tidak terbukti), atau dikabulkan (karena dalil pemohon dibenarkan).

Tidak heran bila pendukung ARB dan Agung Laksono terus ribut soal ‘cara benar’ memahami putusan mahkamah partai. Keributan makin bertambah setelah Menkumham Yasonna Laoly sudah memberikan pengesahan kepada kubu Agung Laksono.

Pesan moral dari semua ini adalah, percekcokan, sengketa, konflik, atau apa pun namanya yang melanda suatu parpol sebaiknya diselesaikan oleh parpol itu sendiri. Dibutuhkan jiwa besar untuk mau mengalah demi kemenangan bersama. Bila tidak, jangan salahkan pihak lain dalam penyelesaian konflik internal tersebut. Jangan rupa yang buruk, cerminnya yang dibelah. Politik sering bukan soal benar dan salah, tetapi menang dan kalah.

0

AC Parma, Riwayatmu Kini

20150315-093645 AM.jpg

Parma kembali mengalami pengurangan dua poin dan terbenam di dasar klasemen Serie A dengan sembilan poin. Mereka berjarak 15 poin dari Atalanta yang berada di zona aman.

Meski mengakhiri musim lalu (2013/2014) di posisi enam, Parma harus melewatkan hak tampil di kompetisi Eropa pada musim 2014/2015. Keputusan tersebut didapat Parma setelah Il Crociati terbukti tak membayar pajak dan tak membayar gaji beberapa pemain dan staf.

Bahkan, selain haknya itu dicabut (diberikan pada Torino yang finis di bawah Parma), skuat asuhan Roberto Donadoni tersebut dijatuhi hukuman denda sebesar 5.000 euro. Plus, mereka pun harus memulai musim ini dengan minus satu poin.

Setelah menerima hukuman-hukuman tersebut, masalah Parma belum tuntas sepenuhnya. Bahkan setelah tongkat kepemimpinan klub beralih dari Tommaso Ghirardi ke Ermir Kodra, nasib Parma masih berada di ujung tanduk. Kini mereka berkutat di zona degradasi dan Impian untuk kembali meraih kejayaan seperti satu dekade silam pun perlahan sirna.

Masa Jaya Parma

Sejak pertama kali menginjakkan kaki di Serie A pada 1990/1991, Parma muncul dengan kekuatan yang mengerikan. Di bawah asuhan pelatih legendaris Italia, Nevio Scala, sejumlah trofi berhasil diraih Parma pada beberapa tahun berikutnya.

Dimulai dari menjuarai Coppa Italia pada 1991/1992, sampai menjuarai Piala UEFA, Super Eropa, dan Piala Winners pada periode 1992 hingga 1995. Di Serie A, mereka pernah menjadi runner-up di musim 1996/1997, hanya kalah 2 poin dari sang juara, Juventus.

Pada masa itu, tak mengherankan memang jika Parma menjelma menjadi salah satu kekuatan baru Serie A. Bagaimana tidak, saat itu Il Gialloblu diperkuat oleh nama-nama seperti Hernan Crespo, Fabio Cannavaro, Dino Baggio, Fernando Couto, Enrico Chiesa, Lilian Thuram, Juan Sebastian Veron, Gianfranco Zola, dan Hristo Stoichkov.

Jika tak ada Parmalat, Parma tak mungkin bisa merekrut pemain-pemain tersebut. Ya, munculnya fenomena Parma pada awal 1990-an ini memang tak lepas dari mengorbitnya perusahaan penghasil susu tersebut.

Memimpin Parmalat sejak tahun 1961 saat usianya masih 22 tahun, Calisto Tanzi berhasil membuat Parmalat menguasai 50% pasar makanan Italia pada 1980 hingga 1990an. Saat itu Parmalat telah dikenal oleh pasar dunia. Perusahaan ini mempekerjakan lebih dari 36 ribu pegawai.

Di tahun 1991 ia memutuskan untuk membeli klub sepakbola lokal, Parma, yang saat itu baru saja ditinggal presiden Ernesto Ceresini yang mati secara tiba-tiba. Tak tanggung-tanggung, 98% saham Parma dibeli oleh Tanzi sebagai bukti passion-nya terhadap sepakbola Italia.

Saat itu Parma masihlah sebuah klub kecil tanpa prestasi. Meski telah eksis sejak 1913, Parma belum pernah sekalipun tampil di Serie A, kompetisi tertinggi Italia. Parma menghabiskan masa lalunya dengan berlaga di Serie C dan Serie B.

Dengan gelontoran lira dari Tanzi-lah Nevio Scala, pelatih yang mengantarkan Parma promosi ke Serie A, cukup leluasa untuk menghadirkan pemain-pemain bintang dalam skuatnya. Akademi muda pun semakin disempurnakan sehingga Parma bisa menghasilkan pemain seperti Gianluigi Buffon dan Giuseppe Rossi.

Parma pun menggeliat dengan trofi demi trofi yang diraihnya. Dalam waktu yang singkat, 10 tahun sejak promosi, Parma berhasil meraih 3 Coppa Italia, 1 Serie A, 1 Super Coppa, 2 Piala UEFA, 1 Piala Super Eropa, dan 1 Piala Winners: 9 trofi dalam 10 tahun.

Atas raihan ini Italia pun memiliki tujuh klub yang tiap tahunnya bersaing untuk memperebutkan scudetto, trofi juara Serie A. Bersama AC Milan, Inter Milan, Juventus, AS Roma, Lazio, dan Fiorentina, Parma membuat Serie A mengenal istilah Sette Sorele atau Seven Sisters.

Namun pada tahun 2000, Hernan Crespo yang menjadi favorit Parmagiani, sebutan untuk pendukung Parma, dijual ke Lazio dengan nilai transfer 35,5 juta poundsterling. Tahun berikutnya, lulusan akademi terbaik Parma, Gianluigi Buffon, hijrah ke Juventus dengan nilai transfer 32,6 juta pounds, menjadi kiper termahal dunia. Dan pada musim panas tahun 2003, Lilian Thuram mengikuti jejak Buffon dengan bergabung Juventus dengan nilai transfer 41,5 juta pounds.

Kebangkrutan Parmalat, Kemunduran Parma

Pada Desember 2003, terungkap bahwa Parmalat mengalami kesulitan melunasi utang pajak sebesar 150 juta euro. Hal ini membingungkan banyak pihak karena banyak ahli percaya jika Parmalat memiliki tumpukan uang senilai 3,9 miliar euro di akun Bank of America.

Awalnya pihak perusahaan mengatakan bahwa tak ada masalah serius dalam diri Parmalat. Mereka berusaha meyakinkan semua orang dengan mengatakan utang tersebut akan terbayarkan dalam waktu dekat. Namun tak lama kemudian, masih di bulan Desember, perusahaan mengatakan bahwa 3,9 miliar euro tersebut tak pernah ada.

Nyatanya, transfer dari dan ke rekening pada akun Parmalat di Bank of America tersebut semuanya palsu. Selama ini Calisto Tanzi bersama dengan sejumlah keluarga dan eksekutif perusahaan melakukan penipuan dan penggelapan uang menggunakan rekening palsu ini. Untuk memuluskannya, mereka bekerja sama dengan Luca Sala, Kepala Perusahaan Keuangan Bank Of America di Italia.

Diteliti lebih jauh, nyatanya penipuan yang dilakukan Tanzi ini merupakan salah satu penipuan dengan rekening palsu terbesar di Eropa. Karena sebenarnya, utang pinjaman Parmalat terhadap Bank of America adalah 14,3 miliar euro, hampir empat kali lipat dari jumlah utang yang pertama kali terungkap.

Masalah yang terjadi pada Parmalat tentu saja berpengaruh besar pada Parma yang 98% sahamnya dimiliki Parmalat. Pada tahun 2003 Parma mengumumkan kerugian operasi sebesar 77 juta euro. Mereka pun mulai mencari sponsor baru untuk menutupi hutang ini dan tetap bisa bertahan di Serie A. Namun tak ada yang tertarik dengan kesebelasan yang berasal dari kota provinsi Parma ini.

Untungnya Parma berhasil menemukan celah agar mereka bisa terus bersaing di Serie A. Lepas dari Parmalat, klub mengubah nama mereka dari AC Parma menjadi FC Parma. Perubahan ini ditujukan agar pendapatan televisi dari liga bisa mengalir ke klub. Parma pun masih bisa bernafas di Serie A.

Di tengah situasi klub yang kacau, para pemain sendiri tetap profesional dan fokus di lapangan. Pada musim 2004/2005, musim perdana tanpa Parmalat, di bawah tangan dingin pelatih Silvio Baldini, Parma berhasil melaju hingga babak semi final Piala UEFA..

Di saat yang bersamaan mereka harus tertatih di Serie A. Pada akhir musim Parma dan Bologna memiliki poin sama di papan bawah klasemen sehingga keduanya harus bermain pada laga play-off untuk menentukan siapa yang terdegradasi dari Serie A.

Parma berhasil bertahan di Serie A. Namun mengalami pasang surut setiap musimnya. Terkadang bisa bertahan di papan tengah, di lain kesempatan terseok-seok nyaris terdegradasi. Finis di urutan enam pada musim 2013/2014 adalah prestasi terbaiknya sejak kasus yang menimpa Parmalat.

Namun sayangnya, Parma kembali mendera krisis finansial. Ghirardi dan CEO klub, Pietro Leonardi, pun terkena hukuman 5 ribu euro karena tak sanggup melunasi utang pajak dan gaji pemain beserta stafnya. Mereka pun sempat dilarang aktif dalam sepakbola selama dua bulan. Era baru bersama konglomerat asal Siprus-Rusia pun sepertinya akan dimulai dari Serie B karena terancam degradasi.

Di Tempat lain, orang yang telah membesarkan nama Parma, Calisto Tanzi, kini telah berusia 76 tahun dan menghabiskan waktunya di balik jeruji besi yang terkunci, menjalani masa hukuman 17 tahun penjara. Meski banyak pihak yang membencinya atas apa yang dilakukannya, bagi sebagian pendukung Parma ia tetaplah pahlawan Parma. Ya, berkat perusahaan milik Tanzi, Parma (sempat) dikenal sebagai salah satu klub hebat di Italia.

Banyak orang yang kini hanya mengenal Parma sebagai sepotong kenangan manis dari masa lalu. Bayangkan, kenangan macam apa yang melintas di kepala Tanzi di balik jeruji penjara.

0

Kami Adalah Ahok

20150310-094921 AM.jpg

Takdir Ahok dan DPRD DKI, agaknya, terus berseteru. Mereka tak akan pernah bertemu. Episode terbaru perseteruan adalah penggunaan hak angket oleh DPRD DKI, yang telah disetujui dalam Rapat Paripurna DPRD DKI, Kamis, 26 Februari 2015.

Hak angket diajukan karena Ahok, panggilan akrab Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama, dianggap melakukan pelanggaran serius, yaitu menyerahkan kepada Menteri Dalam Negeri Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) APBD DKI 2015 tanpa persetujuan DPRD. Paling tidak, begitulah klaim DPRD DKI.

Dari pihak Ahok lain lagi. Menurut Ahok, tidak benar ia menyampaikan RAPBD yang tidak disepakati. “Yang benar, DPRD tidak berhasil memaksa kami memasukkan anggaran yang tidak masuk akal. Lalu mereka membuat sendiri APBD tanpa SKPD (satuan kerja pemerintah daerah) kami.”

Ahok menyatakan bahwa yang ia sampaikan adalah RAPBD yang telah disetujui DPRD, sedangkan yang diklaim sebagai versi resmi DPRD tersebut adalah buatan DPRD DKI sendiri tanpa kehadiran SKPD. Versi DPRD inilah yang dituding memunculkan dana siluman hingga Rp 12,1 triliun, angka yang tentu saja sangat tidak kecil.

Siapa yang benar, siapa yang berbohong? Harus diakui, sentimen publik saat ini lebih mempercayai Ahok. Gerakan “save Ahok” menjadi trending topic dan geliat masyarakat, terutama warga DKI, diikuti “save haji lulung” yang lebih berisi satir dan ejekan.

Save Ahok adalah soal kepercayaan (trust). Tidak dipaksakan, apalagi digerakkan. Hal ini membuktikan bahwa rasionalitas publik selalu menginginkan pemimpin yang bersih dan antikorupsi. Terlepas ‘cuap-cuap’ ala Ahok yang sering memerahkan telinga, mantan Bupati Belitung Timur itu masih menjadi harapan bagi warga Jakarta dan rule model bagi masyarakat Indonesia.

Konflik kepentingan

Seberapa penting hak angket yang dilancarkan DPRD DKI di tengah sentimen dukungan kepada Ahok? Hak angket adalah hak legislatif untuk melakukan penyelidikan terhadap kebijakan pemerintah daerah provinsi yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan masyarakat, daerah, dan negara yang diduga bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Dari definisi tersebut dapat diketahui bahwa angket diarahkan kepada kebijakan yang penting dan strategis serta berdampak luas, yang diduga bertentangan dengan undang-undang. Bila definisi ini diterapkan pada objek perkara Ahok-DPRD DKI, rasanya terlalu prematur untuk melancarkan hak angket.

Menyampaikan dokumen RAPBD yang berbeda kepada Menteri Dalam Negeri untuk dievaluasi, kalau benar, harusnya tak perlu berbuah angket. Tinggal diklarifikasi mana dokumen yang resmi mana yang bukan. Semudah itu. Dengan catatan, semua memiliki niat baik dalam mewujudkan anggaran untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Bila kepentingannya berbeda, satu untuk kebaikan dan kesejahteraan rakyat, sedangkan yang lain menjadikan APBD sebagai bancakan, sebagai proyek, tentu saja tidak bisa ketemu. Harus ada forum yang transparan dan kredibel untuk mengungkap semua ini.

Panitia angket yang dibentuk DPRD DKI, yang akan bekerja dan melaporkan hasilnya dalam jangka waktu paling lama 60 hari, tidak cukup kredibel untuk menjadi forum tersebut. Sebabnya, DPRD DKI berada pada wilayah benturan kepentingan (conflict of interest).

Bila benar tuduhan Ahok, bahwa DPRD DKI mengubah sendiri anggaran tanpa kehadiran dan kesepakatan dengan eksekutif, bahkan sampai mencangkokkan dana simsalabim sebesar Rp 12,1 triliun, potensi pelanggaran hukum serius justru ada pada DPRD DKI sendiri. Mereka yang melakukannya bisa dituding punya niat jahat untuk mencari keuntungan dari persetujuan RAPBD. Jelas ini percobaan korupsi.

Mungkin tidak semua anggota DPRD DKI yang terlibat. Bisa jadi hanya oknum-okunum tertentu. Mereka itu yang mungkin selama ini memiliki pengaruh di DRPD dan selalu mencari keuntungan dari kekuasaan politik. Mirip dengan apa yang terjadi di tingkat pusat (DPR).

Bila hal ini yang terjadi, panitia angket tidak bisa menjadi pencari fakta yang netral. Panitia angket tidak bisa menjadi alat untuk mencari siapa yang salah, siapa yang benar secara independen. Dalam balutan konflik kepentingan, siapa pun tidak akan objektif. Seseorang tidak bisa menjadi hakim bagi dirinya sendiri.

Angket, bisa jadi, hanya membuang-buang energi, sementara hasilnya belum tentu dapat dipercaya, apalagi diterima. Kecuali sasaran angket untuk menjatuhkan Ahok. Tidak bisa dimungkiri, imajinasi ini bersemi di benak sebagian anggota DPRD sejak Ahok mengontrol pemerintahan DKI. Mereka selalu mencari kesempatan agar Ahok terpeleset dan ada kesempatan untuk melengserkannya.

Kompromi kebaikan

Kalau bisa dikompromikan, kedua belah pihak mestinya bisa duduk satu meja untuk mengurai benang yang sesungguhnya tidak kusut-kusut amat. Bila tidak, warga DKI yang akan rugi. Pelambatan persetujuan APBD akan berdampak pada pembangunan dan pemberesan Jakarta.

Di tangan Ahok, masyarakat Jakarta membuncah harapan akan kehidupan yang lebih manusiawi di Ibukota. Tidak hanya pemberesan soal macet, banjir, dan kebersihan lingkungan, melainkan juga pelayanan birokrasi yang tidak lagi berteman pungli.

Dalam kondisi normal, wakil rakyat baik di pusat maupun daerah harusnya menjadi pengingat yang paling kritis akan harapan warga tersebut. Sayang, terlalu sering realitas berkata sebaliknya: wakil rakyat justru menjadi begal bagi hak-hak rakyat.

Wakil rakyat dan rakyat tidak selalu berada pada gelombang yang sama. Malah sebaliknya, lebih sering bersilang sikap dan kata.

Problem utama negara ini, ada wakil rakyat, tetapi tidak dipercaya. Wakil rakyat bahkan sering menjadi musuh orang baik, menjadi penentang aktor-aktor antikorupsi. Wakil-wakil rakyat, yang berasal dari partai-partai politik, justru sering menjadi beban bagi bangsa ini. Tidak heran lelucon sinis sering kita dengar. Kalau ada satu bus rombongan wakil rakyat terjungkal ke jurang, berapa orang yang bakal selamat. Jawabnya: ratusan juta rakyat Indonesia!

0

Hakim Sarpin

20150220-065556 PM.jpg

Putusan Praperadilan yang dikeluarkan oleh Hakim Sarpin Rizaldi pada tanggal 16 Februari 2015 di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan atas permohonan Budi Gunawan menjadi trending topik pembicaraan dalam berbagai media di Indonesia.

Putusan tersebut menyatakan penetapan tersangka Budi Gunawan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak sah dan tidak berdasar atas hukum. Putusan tersebut menarik untuk dibahas namun sebelum membahasnya perlu dijelaskan terlebih dahulu tentang apa yang dimaksud dengan Pra Peradilan dan kewenangannya. Berdasarkan Pasal 1 butir 10 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Praperadilan memiliki wewenang untuk memeriksa dan memutus:

1. Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan, atas permintaan tersangka atau keluarganya atau permintaan yang berkepentingan demi tegaknya hukum dan keadilan;

2. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan yang berkepentingan demi tegaknya hukum dan keadilan dan;

3. Permintaan ganti rugi atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atau kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan selain putusan Praperadilan atas permohonan Budi Gunawan di atas.

Putusan Pra Peradilan oleh Hakim Sarpin Rizaldi atas permohonan Budi Gunawan, telah memposisikan Hakim Praperadilan sebagai Hakim Komisaris (Hakim Pemeriksa Pendahuluan) seperti di Belanda, le Juge de la Liberte, Civil Law System di Prancis atau Hakim pada Magistrates Court seperti di Amerika Serikat dan Hong Kong (Common Law System).

Putusan Praperadilan tersebut di atas dapat digambarkan sebagai fenomena hakim yang berupaya memposisikan dirinya sebagai wasit sejak awal perkara yang selalu memonitor pelaksanaan upaya paksa oleh penyidik.

Dengan demikian, sebaiknya hindari mencaci dan menghina Hakim Sarpin Rizaldi atas putusan yang telah dikeluarkan. Namun jadikanlah putusan tersebut sebagai momentum bagi masyarakat untuk memahami bahwa KUHAP tidak memiliki check and balance system atas tindakan penyidik. Mengapa? Oleh karena KUHAP tidak mengenal mekanisme pengujian atas keabsahan perolehan alat bukti dan tidak menerapkan prinsip pengecualian (exclusionary) atas alat bukti yang diperoleh secara tidak sah.

Di Amerika Serikat contoh mekanisme pengujian terhadap keabsahan perolehan alat bukti dapat dilihat dalam kasus Dominique Straus Kahn yang dituduh melakukan perkosaan terhadap Nafissatou Diallo di Hotel Manhattan New York pada tahun 2011. Kasus tersebut akhirnya dibatalkan pada Agustus 2011 di Magistrates Court New York, setelah adanya keraguan terhadap kredibilitas saksi korban, termasuk kesaksiannya yang tidak konsisten tentang apa yang terjadi.

Apa yang melatarbelakangi alat bukti harus diuji keabsahan perolehannya? Menurut Paul Roberts dan Adrian Zuckerman, ada tiga prinsip yang mendasari perlunya mekanisme pengujian atas keabsahan perolehan alat bukti yaitu :

Pertama, rights protection by the state. Terkadang upaya dari penyelidik atau penyidik dalam upaya menemukan alat bukti terkadang dilakukan dengan melanggar hak asasi calon tersangka atau tersangka. Dalam rangka mengembalikan atau mempertahankan hak yang sudah dilanggar maka diperlukan suatu mekanisme pengujian perolehan alat bukti untuk mengetahui dan memastikan apakah alat bukti tersebut sudah benar-benar diambil secara sah.

Kedua, deterrence (disciplining the police). Pengesampingan atau pengecualian alat bukti yang diambil atau diperoleh secara tidak sah, akan mencegah/ menghalangi para penyidik maupun penuntut umum mengulangi kembali kesalahan mereka di masa mendatang. Apabila hakim secara rutin mengecualikan/ mengesampingkan alat bukti yang di dapat secara tidak sah tersebut, maka hal itu menjadi pesan yang sangat jelas kepada aparat penegak hukum bahwa tidak ada manfaatnya yang bisa di ambil dari melanggar hukum, kemudian motivasi dari aparat untuk melanggar hukum akan menurun drastis.

Ketiga, the legitimacy of the verdict. Dalam proses acara pidana diperlukan suatu sistem yang dapat dipercaya sehingga masyarakat yakin terhadap sistem hukum atau sistem peradilannya. Apabila hakim sudah terbiasa memaklumi aparat penyidik dan penuntut umum menyajikan alat bukti yang di dapat secara tidak sah, maka sistem hukum tersebut akan diragukan legitimasinya dan masyarakat akan segera mengurangi rasa hormatnya.

Dengan demikian Putusan Pra Peradilan oleh Hakim Sarpin Rizaldi, menjadi pembelajaran bagi masyarakat Indonesia bahwa Hukum Acara Pidana Indonesia belum menerapkan prinsip due process of law secara utuh, oleh karena tindakan aparat penegak hukum dalam mencari dan menemukan alat bukti tidak dapat dilakukan pengujian keabsahan perolehannya.

Sebenarnya Indonesia sedang berupaya memperbaiki celah hukum tersebut dengan memperbaikinya dalam RUU KUHAP Pasal 111 ayat (1) huruf a. RUU KUHAP yang memperkenalkan konsep Hakim Pemeriksa Pendahuluan, sehingga segala tindakan penyidik dapat dikontrol oleh hakim pemeriksa pendahuluan. Namun langkah perbaikan hukum acara melalui revisi KUHAP dianggap sebagai bentuk pelemahan KPK, padahal terbukti dengan KUHAP saat ini KPK malah dibuat lemah.

Perbaikan hukum acara pidana yang berlaku saat ini sangat diperlukan dan hindari memandang revisi KUHAP sebagai salah satu bentuk pelemahan KPK dan prokorupsi sebagaimana dikumandangkan oleh aktivis LSM di media massa di tahun 2014 lalu. Untuk perbaikan ke depan dan polemik putusan Pra Peradilan tidak terulang kembali sebaiknya RUU KUHAP yang sudah disampaikan ke DPR sejak Desember 2013 segera dibahas.